SATU ABAD lalu, tepatnya 20 Mei 1908, di sebuah ruang kelas para mahasiswa sekolah kedokteran Jawa STOVIA mendirikan sebuah perkumpulan bernama Budi Utomo. Ini adalah organisasi modern pertama yang didirikan oleh bumiputra, begitu nama yang diberikan pemerintah kolonial Belanda untuk penduduk asli waktu itu. Tanggal kelahiran Budi Utomo kemudian dijadikan sebagai tonggak awal kebangkitan nasional untuk melawan penjajah. Tahun ini kita memperingati satu abad kebangkitan nasional. Budi Utomo telah berjasa menanamkan bibit nasionalisme, suatu rasa kebangsaan yang kemudian dirumuskan dengan cerdas oleh para pemuda kita lewat Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Mereka berikrar untuk menjadi satu bangsa, satu tanah air, dan menjunjung satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Lebih dari 400 suku bangsa dicita-citakan menjadi satu bangsa, suatu imagined communities seperti yang dikemukakan oleh Benedict Anderson. Suatu ruang Indonesia yang terdiri lebih dari 17.000 pulau dan lautnya menjadi satu tanah air.
Bangsa yang dicita-citakan itu menjunjung satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ketiga kebersamaan itu disepakati dan diterima, tidak ada lagi hal-hal lain yang menjadi kesepakatan bersama. Mengakui kebersamaan itu berarti mengakui dan menerima adanya perbedaan yang lain. Sumpah Pemuda yang bibitnya mulai ditanam sejak lahirnya Budi Utomo dan kemudian dikembangkan terus oleh organisasi-organisasi pemuda, seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Ambon, dan Jong Timor, serta organisasi masyarakat, seperti Serikat Islam, Indische Partij, dan organisasi sosial lain, menjadi gambaran dari bangsa dan negara yang hendak dibentuk. Suatu negara-bangsa yang didirikan di atas pluralisme.
Dari perjalanan sejarah kita tahu butir-butir Sumpah Pemuda itu kemudian dirumuskan lebih lanjut dalam Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila, dan UUD 1945 yang menjadi dasar dari keindonesiaan kita. Masalah besar SAAT memperingati satu abad Kebangkitan Nasional, kita justru sedang dihadapkan pada berbagai masalah besar. Masalah paling nyata sekarang adalah persoalan ekonomi. Pemerintah “dipaksa” oleh situasi dunia untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) akibat harga minyak dunia yang naik terus. Belum lagi ancaman krisis pangan dunia yang ujung-ujungnya akan bermuara pada krisis ekonomi dunia. Indonesia pasti akan ikut memikul dampak dari semua itu.
Belum lepas dari krisis ekonomi 10 tahun silam, kini datang badai “Durga” ekonomi baru itu. Ibarat kata pepatah, nasib bangsa kita sudah jatuh tertimpa tangga pula. Upaya untuk menyejahterakan rakyat banyak makin jauh dari kenyataan. Sri Edi-Swasono ( 2007 ) mengingatkan “Indonesia is not for sale”, karena belakangan ini makin banyak lahirnya kebijakan privatisasi BUMN yang justru menyangkut kehidupan banyak orang. Kalaupun ada pembangunan, itu adalah “pembangunan di Indonesia”, bukan “pembangunan Indonesia”. Artinya, pihak asing gencar menjalankan pembangunan di Indonesia, dan keuntungannya dibawa pulang ke negerinya. Selain masalah ekonomi, kita juga menghadapi masalah politik yang mulai mengabaikan keindonesiaan. Konflik yang terjadi di beberapa daerah yang kabarnya dilatarbelakangi masalah agama, pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada) yang ricuh, seperti di Maluku Utara, dan mulai memudarnya sikap toleransi serta rasa kebangsaan adalah gambaran betapa keindonesian kita sedang menghadapi ujian berat justru pada saat kita merayakan satu abad Kebangkitan Nasional. Kerisauan DALAM dua-tiga tahun terakhir muncul adanya kerisauan terhadap keindonesiaan kita.
Nurcholish Madjid (2004, Indonesia Kita) mengingatkan pentingnya pemahaman dan kesadaran akan “Indonesia kita”. Nurcholish mengemukakan, menjadi bangsa adalah sebuah konsep yang dinamis. Indonesia hari ini adalah Indonesia yang sama dinyatakan sebagai bangsa pada 28 Oktober 1928, ataupun sebagai negara berdaulat yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Tetapi karena dinamisme itu pula konsep berbangsa dan bernegara juga mengalami perkembangan. Kita memerlukan peneguhan kembali ikatan batin dan komitmen semua komponen bangsa terhadap cita-cita nasional kita. Sri Sultan Hamengku Buwono X ( 2008 ) menegaskan perlunya “merajut kembali keindonesiaan kita”. Ia mengingatkan bahwa bangsa Indonesia harus menyadari diri sebagai bangsa yang plural. Itu sebabnya, semboyan bangsa Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda, tetapi tetap satu.
Para Bapak Bangsa mampu memberi pemahaman keberagaman yang sifatnya disintegratif itu menjadi sesuatu yang integratif. Kebhinneka-tunggal-ikaan itu adalah keindonesiaan kita. Mengabaikan kebhinekaan akan membuat persatuan dan kesatuan Indonesia terancam. Sri Sultan mengungkapkan Indonesia sedang menghadapi berbagai tantangan besar seperti menguatnya budaya konsumerisme dan kekerasan, menipisnya kesadaran pluralisme dan semangat kebangsaan, tingginya kemiskinan dan pengangguran, dan ketertinggalan dalam membaca dinamika geopolitik yang terjadi di Pasifik Rim. Tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini, kata Sultan, kecuali mengkapitalisasi seluruh sumber daya yang ada, termasuk di dalamnya modal sosial guna menghadapi tantangan tersebut. Ironisnya, kondisi Indonesia saat ini masih dililit banyak masalah, seperti kemiskinan, pengangguran, masalah pendidikan, kesehatan, keamanan, dan kedaulatan wilayah. Ibarat sebuah rumah, dinding-dindingnya berlubang besar di sana-sini. Siapa pun bisa masuk dan keluar tanpa terhalangi. Untuk mengatasi masalah tersebut, tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali merajut kembali keindonesiaan, mulai dari kebudayaan, kebangsaan, ekonomi, politik, hukum sampai pertahanan keamanan, dengan revitalisasi nasionalisme yang dulu telah melahirkan bangsa dan negara ini. Tidak hanya Sultan yang menilai keindonesiaan kita sedang dalam keadaan gawat. Amien Rais ( 2008 ) - yang menjadi tokoh gerakan reformasi dan terakhir mengatakan reformasi telah gagal dan kandas - justru menegaskan agenda mendesak bangsa saat ini adalah menyelamatkan Indonesia.
Amien Rais mengemukakan, masalah besar yang dihadapi Indonesia saat ini adalah mengapa kita terus saja miskin, terkebelakang, dan tercecer dalam derap kemajuan bangsa-bangsa lain. Bangsa Indonesia tampaknya sedang mengalami krisis jati diri atau krisis identitas. Nasionalisme kita, kata Amien, telah menjadi dangkal. Kita membela merah-putih hanya dalam hal-hal yang bersifat simbolik, namun ketika kekayaan alam kita dikuras dan dijarah oleh korporasi asing, ketika sektor-sektor vital ekonomi, seperti perbankan dan industri dikuasai asing, bahkan ketika kekuasaan asing dapat mendikte perundang-undangan serta keputusan-keputusan politik, kita diam membisu. Satu abad Kebangkitan Nasional seharusnya menjadi momentum kebangkitan kedua bangsa Indonesia untuk meneguhkan kembali keindonesiaan yang berdiri di atas pluralisme berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila, dan UUD 1945. Sedikit provokatif Djuyoto Suntani ( 2007 ) mengingatkan bahwa Indonesia bisa saja “pecah” tahun 2015, kalau tak hati-hati dan mawas diri. Ia mengatakan ada siklus “tujuh abad, 70 tahun” seperti yang dialami Sriwijaya dan Majapahit. Kedua kerajaan besar itu usianya hanya 70 tahun. Majapahit muncul tujuh abad setelah Sriwijaya. Indonesia juga muncul tujuh abad kemudian setelah Majapahit. Pada 2015 Indonesia akan berusia 70 tahun.
Akankah Indonesia bernasib sama seperti Sriwijaya dan Majapahit? Faktor lain yang bisa membuat Indonesia “pecah”, kata Djuyoto Suntani, adalah kehilangan figur pemersatu, pertengakaran sesama anak bangsa, pilpres yang bakal kacau, dan adanya konspirasi global yang tak pernah berhenti berusaha menggoyang Indonesia agar pecah berkeping-keping seperti Uni Soviet yang menjadi 15 negara dan Yugoslavia terbagi menjadi enam negara merdeka. Secara genetik, bangsa ini lahir dari keberagaman dan dalam keberagaman. Kita tidak bisa menghapus kenyataan tersebut. Mengingkari itu artinya kita mengingkari negeri ini. Maukah kita menyadari jati diri itu ? Keterangan foto : Merah-Putih berkibar di antara ranting-ranting yang mengering, terkena luberan lumpur panas, di Desa Siring, Sidoarjo