Saturday, August 2, 2008

Arti Kebangkitan Nasional Indonesia 2008

Bangkit itu susah
susah melihat orang lain susah
senang melihat orang lain senang

Bangkit itu takut
takut korupsi …..
takut makan yang bukan haknya

Bangkit itu mencuri
mencuri perhatian dunia dengan prestasi

Bangkit itu marah
marah …. bila martabat bangsa di lecehkan

Bangkit itu malu
malu menjadi benalu … malu karena minta melulu

Bangkit itu tidak ada
tidak ada kata menyerah
tidak ada kata putus asa

bangkit itu aku … Aku Untuk INDONESIA- ku


Dedy Mizwar



Moralitas Pemuda Indonesia

Generasi muda sekarang dikatakan berbeda dengan generasi muda masa Budi Utomo atau generasi muda ditahun 1928. Jelas berbeda, kita tidak bisa samakan generasi sekarang dengan generasi yang 100 tahun dibelakang. Memang benar kalau ada pandangan yang mengatakan tentang pemuda sekarang lebih individualis, senang materialis dan mementingkan diri sendiri hal itu tidak dapat kita salahkan.
Tapi di jaman Budi Utomo, tidak semua pemuda yang berjuang untuk masyarakat pribumi, ada juga yang berjuang untuk kepentingan kelompok atau pribadi. Yang membedakan dimasa itu moralitas pemuda yang terbentuk murni karena mereka saling membutuhkan, berbeda dengan sekarang yang semua aktifitas dapat dilakukan sendiri tanpa bantuan orang lain.

Berbicara tentang moralitas pemuda, meuncul pertanyaan apa itu moralitas? Bagaimana moralitas pemuda sekarang?

Moralitas berarti sopan santun atau berhubungan dengaan etika dan sopan santun (KBBI: 1996). Sopan santun ini berarti berhubungan dengan orang lain. Dalam pergaulan atau berhubungan dengan orang lain dilihat dari tingkah lakunya yang baik atau buruk. Jika ia melakukan hal yang buruk berarti ia bermoral buruk sebaliknya bila ia berlaku yang baik maka ia bermoral yang baik.

Kalau kita hubungkan dengan moral pemuda sekarang ada beberapa kelompok pemuda (a). kelompok pelajar (b).kelompok mahasiswa (c) kelompok pekerja (d) kelompok pengangguran terpelajar (e) kelompok pengangguran biasa.

Generasi muda pada kelompok pelajar dapat kita amati pada semua tingkatan sekolah.Tingkatan itu adalah pada sekolah dasar, menengah pertama dan menengah atas. Pada sekolah dasar walaupun masih dianggap anak-anak hal ini sudah menampakkan moral yang akan berlanjut pada tingkatan sekolah berikutnya.Seperti kita lihat anak SD sudah senang mengganggu temanya atau malah berani meminta sesuatu dengan paksa seperti minta uang pada temannya.

Mereka sudah memiliki fasilitas telepon atau HP yang seharusnya dimiliki orang dewasa. Begitu juga ada sebagian anak SD yang sudah diberikan fasilitas sepeda motor oleh orangtuanya. Hal ini tentu saja bertentangan dengan undang-undang lalulintas yang mengijinkan menjalankan motor pada usia enam belas tahun. Faktor orangtua pada kasus ini tentunya sangat dominan. Orang tua yang ingin menampilkan anak seolah-olah keluarganya berstatus kaya dapat mendorong terjadinya hal ini.

Pada Tingkatan menengah pertama generasi ini tentunya lebih dewasa dari tingkatan SD. Namun Fasilitas yang seharusnya bagi orang dewasa malah parah lagi. Mereka rata-rata sudah mempunyai fasilitas telpon atau HP. Sebagian besar mereka sudah memiliki kendaraan. Walaupun mereka mempunyai SIM ternyata ada permainan umur dalam pembuatan SIM tersebut. Lagi-lagi faktor orang tualah yang sangat berperan dalam tingkah laku generasi ini. Dan pada generasi inilah sering terjadi pelanggaran lalulintas yang banyak mengakibatkan kecelakaan sampai kematian.

Pada Genasi tingkat menengah atas mereka sudah tidak nampak melakukan pelanggaran lalulintas . Mereka senag berkelompok untuk melakukan sesuatu. Mereka senang menonton , berpesta ataau berekriasi. Dibalik itu mereka lebih menonjol pada kebut-kebutan pada arena resmi. Dan oada generasi inilah mereka sudah banyak terjerumus ke pidana seperti mabuk,judi atau malah mencuri atau merampok.

Dan pada generasi inilah yang membedakan generasi dulu dan sekarang, Pada generasi dulu mereka senang berorganisasi uantuk menyalurkan keinginannya sedang generasi sekarang mereka tidak mau berorganisasi mereka senang berkelompok atau membuat geng yang lepas dari aturan tertentu yang akhirnya tidak terkontorol lagi mengakibatkan berhunngan dengan pidana.

Pada kelompok mahasiswa, dapat dikatakan telah memiliki kematangan dalam berpikir baik dan burukya sesuatu yang mereka lakukan. Namun hal ini belum menjamin apa yang dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku dalam masyarakat. Mahasiswa memiliki jiwa yang masih labil, masih dapat terpengaruh oleh dorongan dan tekanan lingkungan.

Tidak sedikit kita dengar ada mahasiswa yang tertangkap karena kedapatan mengkonsumsi narkoba, atau digelandang massa karena perbuatan asusila seperti seks bebas dan lainnya. Hal ini tetunya mencap mahasiswa sebagai kelompok yang dinamis terhadap perubahan sosial masyarakat juga mahasiswa yang tidak sedikit memiliki moral undercover dari prilakunya aspirasinya yang bebas.

Karena itu diperlukan perhatian terhadap generasi muda sekarang agar mereka benar-benar diarahkan kepada yang diinginkan dalam masyarakat. Sebab kata orang, dipundak pemudalah generasi bangsa disandang, bila moral pemuda sekarang tidak benar maka tidak akan benar pula nantinya sebuah bangsa tersebut. Begitulah kira-kira amanah yang dapat dipetik dai 100 tahun peringatan hari kebangkitan nasional. Dari Budi Utomo sampai pemuda sekarang, semangat nasional harus terus bangkit, meskipun banyak badai yang menerjang. Merdeka!

sumber :menulismudah.com

Pendiri Budi Utomo

Dokter Sutomo yang bernama asli Subroto ini lahir di desa Ngepeh, Jawa Timur, 30 Juli 1888. Ketika belajar di STOVIA (Sekolah Dokter), ia bersama rekan-rekannya, atas saran dr. Wahidin Sudirohusodo mendirikan Budi Utomo (BU), organisasi modem pertama di Indonesia, pada tanggal 20 Mei 1908, yang kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Kelahiran BU sebagai Perhimpunan nasional Indonesia, dipelopori oleh para pemuda pelajar STOVIA (School tot Opleiding voor Indische Artsen) yaitu Sutomo, Gunawan, Suraji dibantu oleh Suwardi Surjaningrat, Saleh, Gumbreg, dan lain-lain. Sutomo sendiri diangkat sebagai ketuanya.

Tujuan perkumpulan ini adalah kemajuan nusa dan bangsa yang harmonis dengan jalan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, kebudayaan, mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa yang terhormat.

Kemudian kongres peresmian dan pengesahan anggaran dasar BU diadakan di Yogyakarta 5 Okt 1908. Pengurus pertama terdiri dari: Tirtokusumo (bupati Karanganyar) sebagai ketua; Wahidin Sudirohusodo (dokter Jawa), wakil ketua; Dwijosewoyo dan Sosrosugondo (kedua-duanya guru Kweekschool), penulis; Gondoatmodjo (opsir Legiun Pakualaman), bendahara; Suryodiputro (jaksa kepala Bondowoso), Gondosubroto (jaksa kepala Surakarta), dan Tjipto Mangunkusumo (dokter di Demak) sebagai komisaris.

Sutomo setelah lulus dari STOVIA tahun 1911, bertugas sebagai dokter, mula-mula di Semarang, lalu pindah ke Tuban, pindah lagi ke Lubuk Pakam (Sumatera Timur) dan akhirnya ke Malang. Saat bertugas di Malang, ia membasmi wabah pes yang melanda daerah Magetan.

Ia banyak memperoleh pengalaman dari seringnya berpindah tempat tugas. Antara lain, ia semakin banyak mengetahui kesengsaraan rakyat dan secara langsung dapat membantu mereka. Sebagai dokter, ia tidak menetapkan tarif, bahkan adakalanya pasien dibebaskan dari pembayaran.

Kemudian ia memperoleh kesempatan memperdalam pengetahuan di negeri Belanda pada tahun 1919. Sekembalinya di tanah air, ia melihat kelemahan yang ada pada Budi Utomo. Waktu itu sudah banyak berdiri partai politik. Karena itu, ia ikut giat mengusahakan agar Budi Utomo bergerak di bidang politik dan keanggotaannya terbuka buat seluruh rakyat.

Kemudian pada tahun 1924, ia mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang merupakan wadah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah tenun, bank kredit, koperasi, dan sebagainya. Pada tahun 1931 ISC berganti nama menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Di bawah pimpinannya, PBI berkembang pesat.

Sementara itu, tekanan dari Pemerintah Kolonial Belanda terhadap pergerakan nasional semakin keras. Lalu Januari 1934, dibentuk Komisi BU-PBI, yang kemudian disetujui oleh kedua pengurus-besarnya pertengahan 1935 untuk berfusi. Kongres peresmian fusi dan juga merupakan kongres terakhir BU, melahirkan Partai Indonesia Raya atau disingkat PARINDRA, berlangsung 24-26 Des 1935. Sutomo diangkat menjadi ketua. Parindra berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.

Selain bergerak di bidang politik dan kedokteran, dr. Sutomo juga aktif di bidang kewartawanan. Ia bahkan memimpin beberapa buah surat kabar. Dalam usia 50 tahun, ia meninggal dunia di Surabaya pada tanggal 30 Mei 1938

Penggagas Budi Utomo

Dr. Wahidin Sudirohusodo
Kendati ia tidak termasuk pendiri Budi Utomo (20 Mei 1908), namanya selalu dikaitkan dengan organisasi kebangkitan nasional itu. Sebab, sesungguhnya dialah penggagas berdirinya organisasi yang didirikan para pelajar STOVIA Jakarta itu. Pahlawan Nasional ini lahir di desa Mlati, Yogyakarta, pada tanggal 7 Januari 1852. Ia wafat pada tanggal 26 Mei 1917 dan dimakamkan di desa Mlati, Yogyakarta.

Dokter lulusan STOVIA, Sekolah Dokter Jawa di Jakarta, ini sangat senang bergaul dengan rakyat biasa. Sehinggga tak heran bila ia mengetahui banyak penderitaan rakyat. Ia juga sangat menyadari bagaimana terbelakang dan.tertindasnya rakyat akibat penjajahan Belanda. Menurutnya, salah satu cara untuk membebaskan diri dari penjajahan, rakyat harus cerdas. Untuk itu, rakyat harus diberi kesempatan mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah. Sebagai dokter, ia sering mengobati rakyat tanpa memungut bayaran.

Selain sering bergaul dengan rakyat, dokter yang terkenal pula pandai menabuh gamelan dan mencintai seni suara, ini juga sering mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat di beberapa kota di Jawa. Para tokoh itu diajaknya untuk mendirikan "dana pelajar". Direncanakan, dana itu akan dipakai untuk menolong pemuda-pemuda yang cerdas, tetapi tidak mampu melanjutkan sekolahnya. Namun, ajakannya kurang mendapat sambutan.

Kemudian di Jakarta, ia mengunjungi para pelajar STOVIA. Kepada para pelajar sekolah dokter itu, ia membentangkan gagasannya. Ia menganjurkan agar para pelajar itu mendirikan organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan dan meninggikan martabat bangsa.

Gagasan lulusan Europeesche Lagere School Yogyakarta, ini mendapat sambutan baik para pelajar STOVIA itu. Mereka juga sependapat dan menyadari bagaimana buruknya nasib rakyat Indonesia pada waktu itu. Maka pada tanggal 20 Mei 1908, Sutomo dan kawan-kawannya mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Budi Utomo. Inilah organisasi modern pertama yang lahir di Indonesia. Karena itu, tanggal lahir Budi Utomo, 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Pentingnya Bahasa

Membunuh Bahasa, Sama saja Membunuh Sejarah Peradaban Masyarakat Pemiliknya



Andaikan dunia ini sudah sama dengan keinginan manusia, referensi itu tidak akan pernah ada. Tapi, sayangnya dunia tidak pernah sama dengan keinginan manusia. Mengapa dunia tidak menyerupai keinginan manusia? Karena dari diri manusia sendiri, dunia itu tak mempunyai makna. Sebagai manusia, tak dapat menanggung sesuatu yang tanpa makna. Bahkan menyelidiki sesuatu yang tanpa makna pun sudah merupakan upaya untuk memberi makna. Bahasa tak lain dan tak bukan hadir untuk menanggapi dunia yang tanpa makna, dan menjadi sesuatu yang menyerupai kehendak manusia. Dengan bahasa manusia memberi jawaban atas sesuatu yang dianggap kurang atau tidak menyerupainya.

Untuk menjalankan tugas kemanusiaan itu, manusia hanya punya satu alat, yakni bahasa. Dengan bahasa, manusia dapat mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan. Sesuatu yang sudah dirassakan sama dan serupa dengan dengannya, belum tentu terasa sebagai serupa, karena belum terungkap dan diungkapkan. Hanya dengan bahasa, manusia dapat membuatnya terasa nyata dan terungkap.

Kebanyakan manusia lupa akan misteri dan kekuatan bahasa. Mereka lebih percaya pada pengetahuan dan pengalamannya. Padahal semua itu masih mentah dan belum nyata, bila tidak dinyatakan dengan bahasa. Jadi, jangan pernah mengira bahwa bahasa itu mudah. Sebelum menyatakan dengan bahasa, manusia harus menggulati pengetahuannya dengan bahasa. Sering terjadi, dalam pergulatannya itu kalah. Manusia merasa tahu dan mengerti, merasa mengalami dan sadar, tapi semuanya itu tidak dapat di ungkapan, artinya bahwa bahasa tak membantunya untuk menyatakan semua keinginannya. Akhirnya, semuanya tinggal sebagai kegelapan dan kebawahsadaran, padahal pikiran manusia merasa tenang dan sadar tentang pengetahuan tersebut. Untuk itu, bahasalah sebagai sarana pencerahan bagi kegelapan manusia.

Di antara semua bentuk simbol, bahasa merupakan simbol yang paling rumit, halus dan berkembang. Kini manusia telah sepakat bersama, dalam kesalingbergantungannya selama berabad-abad, untuk menjadikan berbagai suara yang mereka ciptakan dengan paru-paru, tenggorokan, lidah, gigi, dan bibir, secara sistematis mewakili peristiwa-peristiwa dalam sistem-sistem saraf mereka, sehingga bahasa disebut sebagai sistem kesepakatan-kesepakatan.

Sebagai sistem kognisi, bahasa dengan sistem gramatikal, bunyi serta tata tulisnya itu, dipahami sebagai sumber daya dan kekayaan mental yang setelah dipelajari, ada dalam diri manusia dan masyarakat. Sistem bahasa (langue) yang abstrak itu merupakan permilikan (property) bersama dan ada dalam kesadaran kolektif masyarakat tutur. Permilikan itu digunakan secara nyata dalam bentuk tuturan dan tulisan (parole) dalam wujudnya sangat bervariasi, baik variasi bentuk maupun nuansa makna dalam konteks penuturan.

Secara ontologis hakikat keberadaan bahasa tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Hakikat makna bahasa dan keberadaan bahasa senantiasa memproyeksikan kehidupan manusia yang sifatnya tidak terbatas dan kompleks. Dalam konteks proyeksi kehidupan manusia, bahasa senantiasa digunakan secara khas dan memiliki suatu aturan permainan tersendiri. Untuk itu, terdapat banyak permainan bahasa dalam kehidupan manusia, bahkan dapat dikatakan tidak terbatas, dan nantara tata permainan satu dengan lainnya tidak dapat dintentukan dengan suatu aturan yang bersifat umum. Namun demikian, walaupun terdapat perbedaan adakalanya terdapat sutau kemiripan, dan hal ini sulit ditentukan secara secara definitif dan pasti. Meskipun orang tidak mengetahui secara persis sebuah permainan bahasa tertentu, namun ia mengetahui apa yang harus diperbuat dalam suatu permainan. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan hakikat bahasa dalam kehidupan manusia dapat dilaksanakan dengan melakukan suatu deskripsi serta memberikan contoh-contoh dalam kehidupan manusia yang digunakan secera berbeda.

Sebagian orang berpendapat bahwa bahasa sebagai sesuatu yang kita lakukan untuk orang lain; sebuah permainan dari simbol verbal yang didasarkan dengan rasa indera kita (pencitraan). Sebagai sistem mediasi, bahasa tidak hanya menggambarkan cara pandang manusia tentang dunia dan konsepsinya, tetapi juga membentuk visi tentang realitas.

Pandangan di atas, merajut pada pemikiran bahwa dengan melukiskan bahasa sebagai penjelmaan pikiran dan perasaan, yaitu budi manusia, maka bahasa itu mendapat arti jauh lebih tinggi daripada sistem bunyi atau fonem. Oleh karena itu budilah yang melahirkan kebudayaan, maka bahasa sebagai penjelmaan daripada budi itu adalah cerminan selengkap-lengkapnya dan sesempurna dari kebudayaan.

Perhatian terhadap kelompok-kelompok minoritas ini sekarang telah menjadi betapa penting dengan adanya kontak antarbudaya, namun diasumsikan bahwa komunikasi antabudaya itu sangat sulit. Hal ini disebabkan karena jika bahasa sebagai sistem bunyi gagal mengendap dalam kantong-kantong budaya, maka masyarakat pun gagal untuk memahami dan dipahami dalam konteks komunikasi antarbudaya.


Meneguhkan Kembali Keindonesiaan Kita




SATU ABAD lalu, tepatnya 20 Mei 1908, di sebuah ruang kelas para mahasiswa sekolah kedokteran Jawa STOVIA mendirikan sebuah perkumpulan bernama Budi Utomo. Ini adalah organisasi modern pertama yang didirikan oleh bumiputra, begitu nama yang diberikan pemerintah kolonial Belanda untuk penduduk asli waktu itu. Tanggal kelahiran Budi Utomo kemudian dijadikan sebagai tonggak awal kebangkitan nasional untuk melawan penjajah. Tahun ini kita memperingati satu abad kebangkitan nasional. Budi Utomo telah berjasa menanamkan bibit nasionalisme, suatu rasa kebangsaan yang kemudian dirumuskan dengan cerdas oleh para pemuda kita lewat Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Mereka berikrar untuk menjadi satu bangsa, satu tanah air, dan menjunjung satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Lebih dari 400 suku bangsa dicita-citakan menjadi satu bangsa, suatu imagined communities seperti yang dikemukakan oleh Benedict Anderson. Suatu ruang Indonesia yang terdiri lebih dari 17.000 pulau dan lautnya menjadi satu tanah air.

Bangsa yang dicita-citakan itu menjunjung satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Ketiga kebersamaan itu disepakati dan diterima, tidak ada lagi hal-hal lain yang menjadi kesepakatan bersama. Mengakui kebersamaan itu berarti mengakui dan menerima adanya perbedaan yang lain. Sumpah Pemuda yang bibitnya mulai ditanam sejak lahirnya Budi Utomo dan kemudian dikembangkan terus oleh organisasi-organisasi pemuda, seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Ambon, dan Jong Timor, serta organisasi masyarakat, seperti Serikat Islam, Indische Partij, dan organisasi sosial lain, menjadi gambaran dari bangsa dan negara yang hendak dibentuk. Suatu negara-bangsa yang didirikan di atas pluralisme.

Dari perjalanan sejarah kita tahu butir-butir Sumpah Pemuda itu kemudian dirumuskan lebih lanjut dalam Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila, dan UUD 1945 yang menjadi dasar dari keindonesiaan kita.
Masalah besar SAAT memperingati satu abad Kebangkitan Nasional, kita justru sedang dihadapkan pada berbagai masalah besar. Masalah paling nyata sekarang adalah persoalan ekonomi. Pemerintah “dipaksa” oleh situasi dunia untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) akibat harga minyak dunia yang naik terus. Belum lagi ancaman krisis pangan dunia yang ujung-ujungnya akan bermuara pada krisis ekonomi dunia. Indonesia pasti akan ikut memikul dampak dari semua itu.

Belum lepas dari krisis ekonomi 10 tahun silam, kini datang badai “Durga” ekonomi baru itu. Ibarat kata pepatah, nasib bangsa kita sudah jatuh tertimpa tangga pula. Upaya untuk menyejahterakan rakyat banyak makin jauh dari kenyataan.
Sri Edi-Swasono ( 2007 ) mengingatkan “Indonesia is not for sale”, karena belakangan ini makin banyak lahirnya kebijakan privatisasi BUMN yang justru menyangkut kehidupan banyak orang. Kalaupun ada pembangunan, itu adalah “pembangunan di Indonesia”, bukan “pembangunan Indonesia”. Artinya, pihak asing gencar menjalankan pembangunan di Indonesia, dan keuntungannya dibawa pulang ke negerinya. Selain masalah ekonomi, kita juga menghadapi masalah politik yang mulai mengabaikan keindonesiaan. Konflik yang terjadi di beberapa daerah yang kabarnya dilatarbelakangi masalah agama, pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada) yang ricuh, seperti di Maluku Utara, dan mulai memudarnya sikap toleransi serta rasa kebangsaan adalah gambaran betapa keindonesian kita sedang menghadapi ujian berat justru pada saat kita merayakan satu abad Kebangkitan Nasional. Kerisauan DALAM dua-tiga tahun terakhir muncul adanya kerisauan terhadap keindonesiaan kita.

Nurcholish Madjid (2004, Indonesia Kita) mengingatkan pentingnya pemahaman dan kesadaran akan “Indonesia kita”. Nurcholish mengemukakan, menjadi bangsa adalah sebuah konsep yang dinamis. Indonesia hari ini adalah Indonesia yang sama dinyatakan sebagai bangsa pada 28 Oktober 1928, ataupun sebagai negara berdaulat yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Tetapi karena dinamisme itu pula konsep berbangsa dan bernegara juga mengalami perkembangan. Kita memerlukan peneguhan kembali ikatan batin dan komitmen semua komponen bangsa terhadap cita-cita nasional kita.
Sri Sultan Hamengku Buwono X ( 2008 ) menegaskan perlunya “merajut kembali keindonesiaan kita”. Ia mengingatkan bahwa bangsa Indonesia harus menyadari diri sebagai bangsa yang plural. Itu sebabnya, semboyan bangsa Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda, tetapi tetap satu.

Para Bapak Bangsa mampu memberi pemahaman keberagaman yang sifatnya disintegratif itu menjadi sesuatu yang integratif. Kebhinneka-tunggal-ikaan itu adalah keindonesiaan kita. Mengabaikan kebhinekaan akan membuat persatuan dan kesatuan Indonesia terancam.
Sri Sultan mengungkapkan Indonesia sedang menghadapi berbagai tantangan besar seperti menguatnya budaya konsumerisme dan kekerasan, menipisnya kesadaran pluralisme dan semangat kebangsaan, tingginya kemiskinan dan pengangguran, dan ketertinggalan dalam membaca dinamika geopolitik yang terjadi di Pasifik Rim. Tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini, kata Sultan, kecuali mengkapitalisasi seluruh sumber daya yang ada, termasuk di dalamnya modal sosial guna menghadapi tantangan tersebut. Ironisnya, kondisi Indonesia saat ini masih dililit banyak masalah, seperti kemiskinan, pengangguran, masalah pendidikan, kesehatan, keamanan, dan kedaulatan wilayah. Ibarat sebuah rumah, dinding-dindingnya berlubang besar di sana-sini. Siapa pun bisa masuk dan keluar tanpa terhalangi. Untuk mengatasi masalah tersebut, tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali merajut kembali keindonesiaan, mulai dari kebudayaan, kebangsaan, ekonomi, politik, hukum sampai pertahanan keamanan, dengan revitalisasi nasionalisme yang dulu telah melahirkan bangsa dan negara ini. Tidak hanya Sultan yang menilai keindonesiaan kita sedang dalam keadaan gawat. Amien Rais ( 2008 ) - yang menjadi tokoh gerakan reformasi dan terakhir mengatakan reformasi telah gagal dan kandas - justru menegaskan agenda mendesak bangsa saat ini adalah menyelamatkan Indonesia.

Amien Rais mengemukakan, masalah besar yang dihadapi Indonesia saat ini adalah mengapa kita terus saja miskin, terkebelakang, dan tercecer dalam derap kemajuan bangsa-bangsa lain. Bangsa Indonesia tampaknya sedang mengalami krisis jati diri atau krisis identitas.
Nasionalisme kita, kata Amien, telah menjadi dangkal. Kita membela merah-putih hanya dalam hal-hal yang bersifat simbolik, namun ketika kekayaan alam kita dikuras dan dijarah oleh korporasi asing, ketika sektor-sektor vital ekonomi, seperti perbankan dan industri dikuasai asing, bahkan ketika kekuasaan asing dapat mendikte perundang-undangan serta keputusan-keputusan politik, kita diam membisu. Satu abad Kebangkitan Nasional seharusnya menjadi momentum kebangkitan kedua bangsa Indonesia untuk meneguhkan kembali keindonesiaan yang berdiri di atas pluralisme berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila, dan UUD 1945. Sedikit provokatif Djuyoto Suntani ( 2007 ) mengingatkan bahwa Indonesia bisa saja “pecah” tahun 2015, kalau tak hati-hati dan mawas diri. Ia mengatakan ada siklus “tujuh abad, 70 tahun” seperti yang dialami Sriwijaya dan Majapahit. Kedua kerajaan besar itu usianya hanya 70 tahun. Majapahit muncul tujuh abad setelah Sriwijaya. Indonesia juga muncul tujuh abad kemudian setelah Majapahit. Pada 2015 Indonesia akan berusia 70 tahun.

Akankah Indonesia bernasib sama seperti Sriwijaya dan Majapahit? Faktor lain yang bisa membuat Indonesia “pecah”, kata Djuyoto Suntani, adalah kehilangan figur pemersatu, pertengakaran sesama anak bangsa, pilpres yang bakal kacau, dan adanya konspirasi global yang tak pernah berhenti berusaha menggoyang Indonesia agar pecah berkeping-keping seperti Uni Soviet yang menjadi 15 negara dan Yugoslavia terbagi menjadi enam negara merdeka.
Secara genetik, bangsa ini lahir dari keberagaman dan dalam keberagaman. Kita tidak bisa menghapus kenyataan tersebut. Mengingkari itu artinya kita mengingkari negeri ini. Maukah kita menyadari jati diri itu ? Keterangan foto : Merah-Putih berkibar di antara ranting-ranting yang mengering, terkena luberan lumpur panas, di Desa Siring, Sidoarjo

Bendera Merah Putih


Bendera merah putih bukan 100% milik rakyat indonesia saja karena rakyat negara monako juga memiliki dan mengagung-agungkan bendera yang sama. Di samping negara monaco (monako), negara polandia (poland) juga memiliki bendera yang mirip namun dengan warna yang terbalik alias bendera putih merah. Negara Singapura (Singapore) pun berbendera merah putih namun ada tambahan gambar bulan sabit dan lima bintang di warna merahnya.

Apakah serupa & sama? Ternyata tidak sama.
Kenapa demikian?

Yang berbeda antara bendera merah putih milik Bangsa Indonesia dan Bangsa Monako ada perbedaan dari sisi skala ukuran benderanya.
- Bendera Indonesia : Skala 2 berbanding 3 (2:3)
- Bendera Monako : Skala 4 berbanding 5 (4:5)

Dari sisi sejarah bendera merah putih di Indonesia, kerajaan majapahit telah memakai lambang merah putih. Selain itu kerajaan kediri sebelum kerajaan majapahit dusah memakai panji-panji merah putih. Bendera negara monako dipakai mulai tahun 1881.

Oleh sebab itu dalam membuat bendera merah putih Negara Indonesia masyarakat diharapkan untuk berhati-hati membuat perhitungan skala ukuran benderanya agar pada saat kita hormat kepada bendera kita benar-benar menghormati bendera negara sendiri. Anak-anak pun sebaiknya diberi penjelasan dini secara ringan disaat menggambar bendera agar tidak salah membuat bendera indonesia.

Contoh : Ketika membuat bendera indonesia dengan panjang 1,5 meter, maka lebarnya adalah 1 meter.